”GEREJA-GEREJA MENGHADAPI REVOLUSI TEKNOLOGI DAN MEDIA SOSIAL”
78. Gereja-gereja di Indonesia juga menghadapi tantangan serius yang dibawa oleh revolusi digital. Efek “disruptif” yang dibawa oleh revolusi digital itu tidak hanya berpengaruh besar dalam dunia bisnis maupun politik (penyebaran hoaks, pelintiran kebencian, kampanye hitam), yang telah mengakibatkan polarisasi berbahaya dalam masyarakat, tetapi juga ditengarai telah mengubah suasana kebudayaan kita yang berdampak luas pada kehidupan menggereja. Kemajuan teknologi itu tidak dapat dihentikan. Namun, tanpa kedewasaan dalam mengelolanya, revolusi teknologi yang melahirkan budaya digital tersebut bisa menceraiberaikan kita semua.
105. Revolusi teknologi telah sampai pada apa yang disebut sebagai Era Industri 4.0, yang ditandai dengan ekonomi digital, kecerdasan buatan (AI, Artificial Intelligence), big data, robot, dsb., dan akan terus berkembang. Revolusi ini mengakibatkan apa yang disebut pengalihan digital (digital disruption), terutama dalam dunia bisnis. Revolusi ini juga sangat berpengaruh dalam teknologi komunikasi, baik secara positif maupun negatif.
106. Revolusi teknologi modern melahirkan budaya digital, yakni kecanggihan kontemporer teknologi informasi dan komunikasi, dan dampaknya baik terhadap pengumpulan dan proses informasi maupun interaksi, pandangan dunia, keyakinan dan pendapat orang. Gereja dan orang Kristen perlu merespons perkembangan ini agar dapat menjalankan panggilan kesaksian dan pelayanannya, juga melalui teknologi digital. Gereja perlu meningkatkan kreativitas dalam pelayanan digital, seperti membuat video-video pendek yang dapat disebarluaskan lewat Youtube, misalnya, agar dapat menjangkau kalangan milenial. Hal-hal yang lebih teknis, misalnya penggunaan Alkitab digital atau buku nyanyian digital dalam ibadah, perlu pengarahan pimpinan gereja supaya mendukung ibadah. Kalaupun ada upaya mengembangkan cyber church, tetaplah ditegaskan bahwa persekutuan gerejawi adalah perjumpaan pribadi, muka dengan muka.
107. Di era digital, masyarakat disuguhi informasi palsu (hoaks), ujaran kebencian, kampanye hitam, fitnah, dan sebagainya. Sebab itu, warga gereja dan masyarakat diimbau untuk bijak dengan media sosial: media sosial bukan ruang pameran pribadi, hindari mengumbar kehidupan pribadi; selektif berteman; interaktif, bukan pasif; media swafoto (selfie) yang informatif, disertai narasi singkat; dan saring informasi sebelum diteruskan (sharing); jangan ikut menyebarkan informasi palsu (hoaks). Ketika menulis di media sosial, tulislah hal yang menarik, menginspirasi, dan membawa damai kepada pembaca. Untuk itu, pendidikan dalam literasi digital di kalangan umat sangat dibutuhkan.
108. Selain itu, gereja-gereja perlu mendidik umat agar tidak tergantung, apalagi kecanduan pada gawai-gawai yang semakin canggih, melainkan mampu memakainya ke arah yang produktif. Begitu juga, model pelayanan gerejawi perlu lebih terbuka dan dialogis serta kritis, mengingat revolusi digital juga memberi akses sangat luas pada umat.
109. Selain pada revolusi digital, dibutuhkan juga perhatian khusus gereja pada generasi milenial dan pascamilenial yang merupakan penghuni digital (digitally native). Peran serta generasi milenial amat diperlukan dan harus mendapat tempat dalam gereja:
a. Model kepemimpinan dan pelayanan.
Gereja-gereja perlu melakukan kajian dalam rangka mencari dan menerjemahkan model kepemimpinan serta pelayanan, termasuk ruang perjumpaan, yang kontekstual dengan kebutuhan generasi milenial dan pascamilenial sebagai subjek di dalam kepemimpinan dan pelayanan gereja.
b. Literasi digital.
Konteks generasi milenial dan pascamilenial yang dinamis dan dekat dengan pekembangan teknologi informasi membuat gereja perlu mengembangkan literasi digital (kemampuan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi, mengolah konten digital dan mengomunikasikannya secara baik) yang sesuai dengan konteks dari generasi milenial dan pascamilenial.
c. Spiritualitas dan peran di era digital. Kedekatan generasi milenial dan pascamilenial dengan pengembangan teologi membuat perkembangan spiritualitas mereka pun berkembang di dalam serat-serat komunikasi digital. Di sini dibutuhkan pencarian model spiritualitas di era digital yang menjadi setting dari pergumulan generasi milenial dan pascamilenial, termasuk tempat mereka di tengah pelayanan gereja dalam rangka mengoptimalkan pembangunan jemaat.
Sumber :
Pokok-Pokok Panggilan dan Tugas Bersama Gereja-Gereja di Indonesia (PPTB PGI) 2019–2024
DKG PGI 2019 - 2024, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2019 (hlm 54 - 57)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar